Pagi yang cerah. Setelah selesai mandi, aku memakai seragam
sekolah berupa kemeja putih berlengan panjang, dasi bergaris berwarna merah,
rompi rajut berwarna hitam dan celana panjang berwarna hitam. Oh ya, aku sampai
lupa memperkenalkan namaku. Namaku Gamaliel Yasuo. Kalian bisa memanggilku
Liel.
“Liel, papa sudah siap, nih. Ayo cepat turun, makan
sarapannya di mobil saja,” seru Mama dari lantai bawah. Aku segera menuruni
tangga ke lantai bawah dan menuju ruang makan yang berdekatan dengan ruang
tamu.
“Ini, sandwich -nya sudah mama masukkan ke kotak
bekal.” kata mama sambil memasukkan kotak bekal ke dalam tasku dan menutup
tasku. Aku tersenyum. “Hati-hati di jalan, ya.”
Setelah memberi salam dan mencium tangan dan pipi Mama, aku
berjalan ke halaman. Di sana, Papa sudah siap di dalam mobil dengan Pak Said,
sopir pribadi keluarga Yasuo yang sudah bekerja sejak aku baru lahir. Pak Said
juga yang mengantar Mama ke rumah sakit saat mama akan melahirkanku.
Aku membuka pintu mobil dan masuk ke dalam mobil.
Mobil melaju. Aku membuka kotak bekal dan memakan sandwich setelah
mengoleskan saus tomat dan mayonaisse. Setelah menngembalikan kotak bekal ke
dalam tas, aku mengeluarkan tumbler berstiker karakter Minion
milikku. Aku membuka tutup tumbler dan meminum susu vanila yang sudah disiapkan
Mama.
Setelah sampai di depan sekolah, aku mencium tangan Papa dan
berterima kasih kepada Pak Said. Aku membuka pintu mobil, dan keluar dari
mobil, lalu menutup pintu mobil kembali.
Aku sudah disambut teman-temanku. Di antaranya Rizaldi, Ben
dan Reno. Mereka menemaniku masuk ke dalam kelas. Aku meletakkan tasku di loker
berstiker namaku.
“Liel, kamu sudah mengerjakan tugas liburan musim kemarau,
belum?” tanya Reno sambil meneguk es sirup berwarna merah pekat yang dibeli di
pedagang di depan halaman sekolah.
“Sudah, dong. Liburan musim kemarauku sangat seru,” jelasku.
Reno mengangguk. Reno mempunyai nama lengkap Muhammad Reno. Reno tinggal di
pinggiran kota. Ibunya sudah meninggal karena tuberculosis.
Rizaldi mengajakku bermain basket selama bel masuk kelas
belum berbunyi. Aku mengiyakan. Rizaldi mengeluarkan bola basket dari dalam
tasnya. Kami menuju lapangan basket. Rizaldi mendribble bola basketnya. Aku
berusaha merebut. Rizaldi sangat lihai saat bermain basket. Rizaldi
bercita-cita menjadi pemain basket profesional. Tapi ia tidak percaya diri
karena tinggi badannya di bawah rata-rata pemain basket.
Bola basket seolah melekat di tangan Rizaldi. Hup! Rizaldi
melompat. Ia berhasil memasukkan bola basket ke dalam ring. Aku bertepuk tangan.
“Sudah setengah delapan, nih, Zal. Masuk kelas, yuk.
Sebentar lagi Tom akan mengatur barisan,” kataku. Rizaldi mengangguk dan
melemparkan bola basket ke arahku. Aku menangkap bola dan mendribble bola
sambil berjalan menuju kelas.
Aku dan Rizaldi masuk ke dalam kelas. Aku memasukkan bola
basket ke dalam tas Rizaldi dan menutup tas Rizaldi.
Kami berbaris di depan kelas. Tom, ketua kelas kami,
mengatur barisan. Setelah siap, kami masuk dan duduk di bangku masing-masing,
lalu berdoa sesuai keyakinan masing-masing.
“Hei, pewaris manajemen Yasuo’s,” celetuk seseorang dengan
suara sinis dan penuh kebencian. “Aku ingin menantangmu bertanding basket. Satu
lawan satu.”
“Oke. Tapi, atas dasar apa?” tanyaku. Ternyata itu Rafa.
“Hanya ingin mengetahui apakah pewaris manajemen Yasuo’s ini hebat. Perusahaan management milik bapakmu itu udah punya banyak artis,” ketus Rafa sambil melipat kedua tangannya di depan dada. “Bahkan aku nggak nyangka. Artis favoritku, Bastian Irawan, ternyata artis dari manajemen bapakmu.”
“Oke. Tapi, atas dasar apa?” tanyaku. Ternyata itu Rafa.
“Hanya ingin mengetahui apakah pewaris manajemen Yasuo’s ini hebat. Perusahaan management milik bapakmu itu udah punya banyak artis,” ketus Rafa sambil melipat kedua tangannya di depan dada. “Bahkan aku nggak nyangka. Artis favoritku, Bastian Irawan, ternyata artis dari manajemen bapakmu.”
Aku menunduk. “Rizaldi!”
Rizaldi menoleh. “Apa?”
“Rafa menantangku bertanding basket satu lawan satu!” seruku. Rizaldi membulatkan mata.
Rizaldi menoleh. “Apa?”
“Rafa menantangku bertanding basket satu lawan satu!” seruku. Rizaldi membulatkan mata.
“Hah? Lalu, kamu menerima tantangan itu?” Aku mengangguk
antusias. “Kalau kamu kalah? Pasti Rafa and The Ganks akan menjelek-jelekkan
kamu!”
“Oh iya..” Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Rafa and The Ganks adalah geng yang dipimpin oleh Rafa. Anggotanya ada teman Rafa. Mereka temanku juga. Mereka adalah Kiki, Elang, Endy, dan Naka.
“Oh iya..” Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Rafa and The Ganks adalah geng yang dipimpin oleh Rafa. Anggotanya ada teman Rafa. Mereka temanku juga. Mereka adalah Kiki, Elang, Endy, dan Naka.
“Lebih baik batalkan saja, deh,” ucap Rizaldi sambil
melototiku. Aduh, nyaliku sungguh menciut. Kalau Rizaldi sudah marah, seperti
nenek sihir. Eh, kakek sihir.
“Tapi, aku jadi malu 2 kali lipat, dong!” kesalku. “Lalu, aku pasti akan diejek gini, ‘Oh, bilang saja lo takut. Pengecut! Gue kira, pewaris management Yasuo’s pemberani!’”
“Ya, sudah! Biar aku saja yang melawannya,” balas Rizaldi sambil mengepalkan tangannya ke depan mukaku.
“Tapi, aku jadi malu 2 kali lipat, dong!” kesalku. “Lalu, aku pasti akan diejek gini, ‘Oh, bilang saja lo takut. Pengecut! Gue kira, pewaris management Yasuo’s pemberani!’”
“Ya, sudah! Biar aku saja yang melawannya,” balas Rizaldi sambil mengepalkan tangannya ke depan mukaku.
***
Rizaldi membawa bola basketnya ke tengah lapangan. Di sana
sudah ada Rafa and The Ganks yang terkadang dipanggil Geng KEREN.
“Lho? Mana Liel? Kok, malah lo yang keluar? Bos serius tahu!” bentak Endy dan Naka sambil meghadang Rizaldi yang mau mendekati Rafa.
“Lho? Mana Liel? Kok, malah lo yang keluar? Bos serius tahu!” bentak Endy dan Naka sambil meghadang Rizaldi yang mau mendekati Rafa.
Rafa menengahi. “Biarin aja. Mungkin dia sok jagoan dan ingin nantangin
aku.”
“Gini aja deh, aku kasih keringanan. Kalau kamu menang tanding satu lawan satu sama aku, aku anggep Liel menang. Meskipun gak ada hubungannya, sih. Kan kamu yang main.” Rafa tertawa sinis sambil melirik teman se-gengnya. Mereka tertawa.
“Gini aja deh, aku kasih keringanan. Kalau kamu menang tanding satu lawan satu sama aku, aku anggep Liel menang. Meskipun gak ada hubungannya, sih. Kan kamu yang main.” Rafa tertawa sinis sambil melirik teman se-gengnya. Mereka tertawa.
Rizaldi mengangguk sambil mendribble bolanya, dan menggiringnya ke ring
Rafa.
“Eits! Belum siap. Anak buahku mau pastiin kalau bola
lo nggak ada kayak magnet-magnet atau semacamnya!” Rafa merebut bola basket di
tangan Rizaldi secara kasar.
Kiki dan Elang memperhatikan setiap bagian bola basket milik
Rizaldi. Tapi, aku yang melihat dari pinggir lapangan dapat melihat kalau Kiki
memasukkan sesuatu seperti magnet ke dalam lubang di bola basket dengan cepat
dan menutup lubang kembali seperti semula. Seolah tidak terjadi apa-apa pada
bola basket itu.
“Hei, tunggu!” Dengan berani, aku berlari ke tengah lapangan
dan mengambil paksa bola basket yang dipegang oleh Kiki dan Elang.
“Apa-apaan kamu, pengecut?” Rafa mencengkram kerahku. Aku
membalik tangannya. Untung, aku dilatih taekwondo oleh papaku. Rafa melepas
cengkraman kerahnya sambil meringis kesakitan dan memerintahkan Kiki, Elang,
Endy, dan Naka untuk memijati tangannya yang kubalik itu.
“Lihat ini Rizaldy!” Aku membuka kembali lubang yang dibuat Kiki dan Elang, dan menunjukkan magnet yang dimasukkan Kiki. “Ini magnet yang dimasukkan Kiki ke dalam bola basket milikmu!”
Rizaldy membulatkan mata. Aku menunjukkan magnet itu sambil memakai kaos tangan, jadi sidik jariku tidak akan tertempel di sana.
“Kalian...” Rizaldy mengepalkan tangannya dan hampir menonjok Rafa tapi aku menahan tangannya.
“Apa coba buktinya kalo aku yang memasukkan magnet ke dalam situ?” Bentak Kiki sambil mendorongku hingga aku sedikit mundur beberapa langkah.
“Kamu masukkin magnet nggak pakai kaos tangan, kan? Jadi, pasti sidik jarimu masih tertinggal di magnet itu.” Aku tersenyum puas melihat Rafa and The Ganks pucat pasi.
“Lihat ini Rizaldy!” Aku membuka kembali lubang yang dibuat Kiki dan Elang, dan menunjukkan magnet yang dimasukkan Kiki. “Ini magnet yang dimasukkan Kiki ke dalam bola basket milikmu!”
Rizaldy membulatkan mata. Aku menunjukkan magnet itu sambil memakai kaos tangan, jadi sidik jariku tidak akan tertempel di sana.
“Kalian...” Rizaldy mengepalkan tangannya dan hampir menonjok Rafa tapi aku menahan tangannya.
“Apa coba buktinya kalo aku yang memasukkan magnet ke dalam situ?” Bentak Kiki sambil mendorongku hingga aku sedikit mundur beberapa langkah.
“Kamu masukkin magnet nggak pakai kaos tangan, kan? Jadi, pasti sidik jarimu masih tertinggal di magnet itu.” Aku tersenyum puas melihat Rafa and The Ganks pucat pasi.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar